Posted by : Dewi Purnamasari Minggu, 22 April 2018


1.     STANDAR KONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memperburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
          1.    Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2           2.   Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial        Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3         3.Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5.   Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2. MACAM-MACAM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN KONSENSUIL DAN PERJANJIAN FORMIL
Perjanjian Konsensuil merupakan perjanjian yang dianggap sah kalau sudah ada consensus diantara para pihak yang membuat. Perjanjian semacam ini untuk sahnya tidak memerlukan bentuk tertentu.
Perjanjian Formil merupakan suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notariil. Jadi perjanjian semacam ini baru dianggap sah jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka perjanjian dianggap tidak pernah ada
B. PERJANJIAN SEPIHAK DAN PERJANJIAN TIMBAL BALIK
Perjanjian Sepihak merupakan suatu perjanjian dengan mana hak dan kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja. (contoh : perjanjian hibah/pemberian, maka dalam hal itu yang dibebani kewajiban hanya salah satu pihak, yaitu pihak yang member, dan pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi kepada pihak yang memberi).
Perjanjian Timbal Balik merupakan suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak (misal : perjanjian jual-beli, perjanjian tukar-menukar, dll.).
C. PERJANJIAN OBLIGATOIR DAN PERJANJIAN ZAKELIJK
Perjanjian Obligatoir merupakan suatu perjanjian yang hanya membebankan kewajiban bagi para pihak, sehingga dengan perjanjian di situ baru menimbulkan perikatan (contoh: pada perjanjian jual-beli, maka dengan sahnya perjanjian jual-beli itu belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi dari perjanjian itu menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan barang dan pihak pembeli diwajibkan membayar sesuai dengan harganya. Selanjutnya untuk beralihnya suatu benda secara nyata harus ada levering/penyerahan, baik secara yuridis maupun empiris) .
Perjanjian Zakelijk merupakan perjanjian penyerahan benda atau levering yang menyebabkan seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda yang bersangkutan. Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru perjanjian itu sendiri yang menyebabkan beraluhnya hak milik atas benda.
D. PERJANJIAN POKOK DAN PERJANJIAN ACCESSOIR
Perjanjian Pokok merupakan suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada perjanjian yang lainnya (contoh : perjanjian jual-beli, perjanjian kredit, dll.).
Perjanjian Accessoir merupakan suatu perjanjian yang keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok. Dengan demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanay perjanjian pokok (contoh : perjanjian hak tanggungan, perjanjian pand, perrjanjian penjaminan, dll.).
E. PERJANJIAN BERNAMA DAN PERJANJIAN TIDAK BERNAMA
Perjanjian Bernama merupakan perjanjian-perjanjian yang disebut serta diatur dai dlam Buku III KUHPerdata atau di dalam KUHD, seperti : perjanjian jual-beli, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dll.
Perjanjian tidak Bernama merupakan perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, antara lain : perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan, perjanjian jual-beli dengan angsuran/cicilan.
3.Syarat Sahnya Perjanjian
Hubungan satu sama lain dalam masyarakat tidak bisa lepas dari Perjanjian. Perjanjian sering kita lakukan misalnya jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam dan sebagainya.Perjanjian antara dua pihak atau lebih melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak sehingga jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dengan sukarela, pihak yang lain dapat menututnya di pengadilan.Misal, penjual yang tidak menyerahkan barang jualannya kepada pembeli padahal pembeli sudah membeli dan membayar lunas. Jika demikian, Pembeli bisa menuntut pembeli agar menyerahkankan barang yang sudah dibelinya itu.
Dari aspek hukumnya, perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHper).Oleh karenanya setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Kalau tidak, maka akan diategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janji yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.Mengingat begitu penting dan begitu kuatnya kekuatan mengikat suatu perjanjian maka tidak sembarangan membuat perjanjian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat para pihak.
Syarat-syarat tersebut dikenal dengan “syarat sahnya perjanjian” sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, sebagai berikut:
·         Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:
·         Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
·         Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
·         Suatu hal tertentu.
·         Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian itu.Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian tersebut.
Syarat Pertama “Sepakat mereka yang mengikat kandiri” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb.
Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUHper sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian, yakni sebagai berikut:
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
Ø  Orang yang belum dewasa.
Ø  Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti cacat, gila, boros, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dsb)
Ø  Seorang istri. (Namun, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, seorang isteri sekarang sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum)
Dengan kata lain, yang cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat perjanjian adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata), dan orang yang tidak sedang di bawah pengampuan.
Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 m2, terletak di Jl. Merpati No 15 Jakarta Pusat yang berbatasan dengan sebelah utara sungai ciliwung, sebelah selatan Jalan Raya Bungur , sebelah timur sekolah dasar inpres, dan sebelah barat tempat pemakaman umum.
Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah.
Jika sudah memenuhi ke empat syarat di atas, maka perjanjian tersebut adalah sah. Tapi, perjanjian bisa diminta dibatalkan bahkan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat ini .
4.      Pembatalan Perjanjian          
Namun demikian, kebebasan berkontrak pada dasarnya harus dihormati dalam pelaksanaannya pada tataran praktis. Pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mengacu pada syarat sahnya perjanjian yaitu melanggar Pasal 1320 ayat 1 dan/atau ayat 2 (dapat dibatalkan) serta melanggar Pasal 1320 ayat 3 dan/atau 4 (batal demi hukum).
Batal demi hukum akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum menjadikan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak perjanjian tersebut dibuat, sedangkan dapat dibatalkan akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menjadikan perjanjian tersebut tidak lagi berlaku sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain apa yang disebutkan diatas, alasan pembatalan lainnya suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan dalam Pasal 1321 BW, yaitu adanya cacat kehendak diakibatkan kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan/atau penipuan (bedrog).
Selain alasan pembatalan perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, berdasarkan praktik hukum dan yurisprudensi dikenal alasan pembatalan perjanjian lainnya yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Beberapa contoh yurisprudensi putusan MvO ini dalam putusan Mahkamah Agung adalah Putusan No. 2485K/sip/1982, Putusan No.3431K/sip/1985 dan Putusan No. 3641K/sip/2001.
Secara konsep, MvO ini dianggap terjadi apabila salah satu pihak dalam melakukan perjanjian berada dalam kondisi keadaan darurat atau keadaan terpaksa atau keadaan pihak lawan berada dalam kondisi psikologis yang sangat kuat atau penyalahgunaan keadaan-keadaan tersebut.
Penggunaan MvO sebagai alasan pembatalan perjanjian kepada majelis hakim pengadilan, pada dasarnya harus memenuhi syarat :
Ø  Keadaan istimewa, keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras dan tidak berpengalaman
Ø  Suatu hal yang nyata, salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui pihak lain dalam keadaan istimewa
Ø  Penyalahgunaan, salah satu pihak menutup perjanjian walaupun ia mengetahuiatau mengeti seharusnyaia tidak menutup perjanjian itu.
Ø  Hubungan kausal, dimana tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian tersebut tidak akan ditutup.

Jadi, pada dasarnya penggunaan MvO dalam pembatalan perjanjian harus melihat posisi masing-masing pihak dalam perjanjian yang dibuat tersebut, dimana MvO ini digunakan untuk melindungi pihak dalam posisi yang lemah dalam menutup sebuah perjanjian yang berhadapan dengan pihak yang  memiliki banyak kelebihan. Kekuatan atau kelebihan salah satu pihak dalam perjanjian bisa dari sudut mana pun dan masalahnya bukan hanya pada kekuatan dan kelebihan salah satu pihak tetapi pada bagaimana kekuatan dan kelebihan tersebut digunakan oleh salah satu pihak dalam membuat suatu perjanjian.
            5. Prestasi dan Wan Prestasi
A. Pengertian Prestasi
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
– Memberikan sesuatu;
– Berbuat sesuatu;
– Tidak berbuat sesuatu.
B. Pengertian Wanprestasi
Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena *:
– Kesengajaan;
– Kelalaian;
– Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

Sumber :


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Dewi purnamasari - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -