Posted by : Dewi Purnamasari
Minggu, 22 April 2018
1. STANDAR KONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN
Standar
kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir
Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak
dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate)
dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto,
suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi
lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan
menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien
jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat
keadaan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang
memperburuk.
Menurut
Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum
(general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak
membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi
ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa
pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu
perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat
perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka
perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan
sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in
terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk
setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan
diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan
tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian
baku di dunia bisnis pada saat ini.Namun kebebasan berkontrak diatas tidak
dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak
terbatas.
Dalam
melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak
baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua
pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan
penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan
berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam
perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena
alasan demi kepentingan umum (public interest).
Di
Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur
tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang
paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan
majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku
atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2 2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip
UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang
mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip
kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3 3.Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Suatu persyaratan dalam
persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh
suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas
menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut
terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku
dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan
dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan
mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2.
MACAM-MACAM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN KONSENSUIL DAN
PERJANJIAN FORMIL
Perjanjian
Konsensuil merupakan perjanjian yang dianggap sah kalau sudah ada
consensus diantara para pihak yang membuat. Perjanjian semacam ini untuk sahnya
tidak memerlukan bentuk tertentu.
Perjanjian
Formil merupakan suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk
tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notariil. Jadi perjanjian semacam
ini baru dianggap sah jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka
perjanjian dianggap tidak pernah ada
B. PERJANJIAN SEPIHAK DAN PERJANJIAN
TIMBAL BALIK
Perjanjian
Sepihak merupakan suatu perjanjian dengan mana hak dan kewajiban hanya ada
pada salah satu pihak saja. (contoh : perjanjian hibah/pemberian, maka dalam
hal itu yang dibebani kewajiban hanya salah satu pihak, yaitu pihak yang
member, dan pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi kepada
pihak yang memberi).
Perjanjian
Timbal Balik merupakan suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban
kepada kedua belah pihak (misal : perjanjian jual-beli, perjanjian
tukar-menukar, dll.).
C. PERJANJIAN OBLIGATOIR DAN
PERJANJIAN ZAKELIJK
Perjanjian
Obligatoir merupakan suatu perjanjian yang hanya membebankan kewajiban
bagi para pihak, sehingga dengan perjanjian di situ baru menimbulkan perikatan
(contoh: pada perjanjian jual-beli, maka dengan sahnya perjanjian jual-beli itu
belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi dari perjanjian itu
menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan barang
dan pihak pembeli diwajibkan membayar sesuai dengan harganya. Selanjutnya untuk
beralihnya suatu benda secara nyata harus ada levering/penyerahan, baik secara
yuridis maupun empiris) .
Perjanjian
Zakelijk merupakan perjanjian penyerahan benda atau levering yang
menyebabkan seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda
yang bersangkutan. Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru
perjanjian itu sendiri yang menyebabkan beraluhnya hak milik atas benda.
D. PERJANJIAN POKOK DAN PERJANJIAN
ACCESSOIR
Perjanjian
Pokok merupakan suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung pada perjanjian yang lainnya (contoh : perjanjian jual-beli,
perjanjian kredit, dll.).
Perjanjian
Accessoir merupakan suatu perjanjian yang keberadaannya tergantung pada
perjanjian pokok. Dengan demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanay perjanjian pokok (contoh : perjanjian hak tanggungan,
perjanjian pand, perrjanjian penjaminan, dll.).
E. PERJANJIAN BERNAMA DAN PERJANJIAN
TIDAK BERNAMA
Perjanjian
Bernama merupakan perjanjian-perjanjian yang disebut serta diatur dai dlam
Buku III KUHPerdata atau di dalam KUHD, seperti : perjanjian jual-beli,
perjanjian pemberian kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dll.
Perjanjian
tidak Bernama merupakan perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata dan
KUHD, antara lain : perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan, perjanjian
jual-beli dengan angsuran/cicilan.
3.Syarat Sahnya
Perjanjian
Hubungan
satu sama lain dalam masyarakat tidak bisa lepas dari Perjanjian. Perjanjian
sering kita lakukan misalnya jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam dan
sebagainya.Perjanjian antara dua pihak atau lebih melahirkan hak dan kewajiban
pada masing-masing pihak sehingga jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya dengan sukarela, pihak yang lain dapat menututnya di pengadilan.Misal,
penjual yang tidak menyerahkan barang jualannya kepada pembeli padahal pembeli
sudah membeli dan membayar lunas. Jika demikian, Pembeli bisa menuntut pembeli
agar menyerahkankan barang yang sudah dibelinya itu.
Dari
aspek hukumnya, perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHper).Oleh karenanya setiap perjanjian
yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Kalau tidak, maka akan diategorikan
sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janji yang memberikan hak kepada
pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.Mengingat begitu penting dan
begitu kuatnya kekuatan mengikat suatu perjanjian maka tidak sembarangan membuat
perjanjian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah
dan mengikat para pihak.
Syarat-syarat
tersebut dikenal dengan “syarat sahnya perjanjian” sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPer, sebagai berikut:
·
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:
·
Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya.
·
Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan.
·
Suatu hal
tertentu.
·
Suatu sebab yang
halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan
syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian
itu.Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat
objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian tersebut.
Syarat
Pertama “Sepakat mereka yang mengikat kandiri” berarti, para pihak
yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal
pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai
dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata).
Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara
pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb.
Syarat
Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUHper
sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk
membuat perjanjian, yakni sebagai berikut:
Tak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah:
Ø Orang yang belum dewasa.
Ø Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti
cacat, gila, boros, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dsb)
Ø Seorang istri. (Namun, berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, seorang isteri sekarang sudah dianggap
cakap untuk melakukan perbuatan hukum)
Dengan
kata lain, yang cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat perjanjian
adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun (Pasal 330
KUHPerdata), dan orang yang tidak sedang di bawah pengampuan.
Syarat
Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat
perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas.
Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1). Misalnya,
jual beli tanah dengan luas 500 m2, terletak di Jl. Merpati No 15 Jakarta Pusat
yang berbatasan dengan sebelah utara sungai ciliwung, sebelah selatan Jalan
Raya Bungur , sebelah timur sekolah dasar inpres, dan sebelah barat tempat
pemakaman umum.
Syarat
Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan
sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan
hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli
orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah.
Jika
sudah memenuhi ke empat syarat di atas, maka perjanjian tersebut adalah sah.
Tapi, perjanjian bisa diminta dibatalkan bahkan batal demi hukum jika tidak
memenuhi syarat ini .
4. Pembatalan Perjanjian
Namun
demikian, kebebasan berkontrak pada dasarnya harus dihormati dalam
pelaksanaannya pada tataran praktis. Pembatalan suatu perjanjian hanya dapat
dilakukan apabila ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
mengacu pada syarat sahnya perjanjian yaitu melanggar Pasal 1320 ayat 1
dan/atau ayat 2 (dapat dibatalkan) serta melanggar Pasal 1320 ayat 3 dan/atau 4
(batal demi hukum).
Batal
demi hukum akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum menjadikan
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak perjanjian tersebut dibuat,
sedangkan dapat dibatalkan akibat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap menjadikan perjanjian tersebut tidak lagi berlaku sejak putusan
berkekuatan hukum tetap.
Selain
apa yang disebutkan diatas, alasan pembatalan lainnya suatu perjanjian adalah
apa yang dinyatakan dalam Pasal 1321 BW, yaitu adanya cacat kehendak
diakibatkan kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan/atau penipuan (bedrog).
Selain
alasan pembatalan perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, berdasarkan praktik
hukum dan yurisprudensi dikenal alasan pembatalan perjanjian lainnya yaitu
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Beberapa contoh
yurisprudensi putusan MvO ini dalam putusan Mahkamah Agung adalah Putusan No.
2485K/sip/1982, Putusan No.3431K/sip/1985 dan Putusan No.
3641K/sip/2001.
Secara
konsep, MvO ini dianggap terjadi apabila salah satu pihak dalam melakukan
perjanjian berada dalam kondisi keadaan darurat atau keadaan terpaksa atau
keadaan pihak lawan berada dalam kondisi psikologis yang sangat kuat atau
penyalahgunaan keadaan-keadaan tersebut.
Penggunaan
MvO sebagai alasan pembatalan perjanjian kepada majelis hakim pengadilan, pada
dasarnya harus memenuhi syarat :
Ø Keadaan istimewa, keadaan darurat,
ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras dan tidak berpengalaman
Ø Suatu hal yang nyata, salah satu pihak
mengetahui atau semestinya mengetahui pihak lain dalam keadaan istimewa
Ø Penyalahgunaan, salah satu pihak menutup
perjanjian walaupun ia mengetahuiatau mengeti seharusnyaia tidak menutup
perjanjian itu.
Ø Hubungan kausal, dimana tanpa menyalahgunakan
keadaan itu maka perjanjian tersebut tidak akan ditutup.
Jadi,
pada dasarnya penggunaan MvO dalam pembatalan perjanjian harus melihat posisi
masing-masing pihak dalam perjanjian yang dibuat tersebut, dimana MvO ini
digunakan untuk melindungi pihak dalam posisi yang lemah dalam menutup sebuah
perjanjian yang berhadapan dengan pihak yang memiliki banyak kelebihan.
Kekuatan atau kelebihan salah satu pihak dalam perjanjian bisa dari sudut mana
pun dan masalahnya bukan hanya pada kekuatan dan kelebihan salah satu pihak
tetapi pada bagaimana kekuatan dan kelebihan tersebut digunakan oleh salah satu
pihak dalam membuat suatu perjanjian.
5.
Prestasi dan Wan Prestasi
A. Pengertian Prestasi
Pengertian
prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu
pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah
mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal 1234
KUH Perdata), yaitu berupa :
– Memberikan sesuatu;
– Berbuat sesuatu;
– Tidak berbuat sesuatu.
B. Pengertian Wanprestasi
Pengertian
wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang
bersangkutan.
Tindakan
wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan
untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti
rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang
dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi
karena *:
– Kesengajaan;
– Kelalaian;
– Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan
atau kelalaian)
Kecuali
tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure,
yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk
sementara atau selama-lamanya).
Sumber :