Archive for Mei 2018
Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian Sengketa
Sengketa dimulai ketika satu pihak
merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb
menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui
cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari
proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada
kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.
1. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses
tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan
antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2. Mediasi
Proses penyelesaian sengketa
antarpihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai
penasihat. Dalam hal mediasi, mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sbb:
Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran
informasi
Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari
argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi
perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha
mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian
dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan,
konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa
pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan
atas nama para pihak karena hal tsb diambil sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
4. Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999,
arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun
disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
·
Salah satu pihak meninggal
·
Salah satu pihak bangkrut
·
Pembaharuan utang (novasi)
·
Salah satu pihak tidak mampu membayar
(insolvensi)
·
Pewarisan
·
Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
·
Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb
dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tsb
·
Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase
bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk
melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka
keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga
permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan
yang ditangani telah selesai.Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase
menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang
bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian,
sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya
hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan
arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta
pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final,
dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya
telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat
diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan
arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66
UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan
sbb:
·
putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
·
putusan arbitrase internasaional terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan
·
putusan arbitrase internasional hanya dapat
dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban
umum
·
putusan arbitrase internasonal dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari
terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan
negeri.Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke
MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.
5. Peradilan
Negara berhak memberikan
perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu
negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan
para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2
Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan
peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang
berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha
negara, dan oleh sebuah MK.
6. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan
pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan
pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan
keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan
tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili
perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara
RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
1.
Permohonan kasasi
2.
Sengketa tentang kewenangan mengadili
3.
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena:
1.
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2.
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku
3.
Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus
permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan
alasan yang diatur dalam perundang-undangan.Permohonan PK dapat diajukan hanya
satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri
oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara
yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Perbandingan Antara Perbandingan,Arbitrase dan Legitasi
SUMBER :
Anti Monopoli dan Persaingan tidak Sehat
Anti Monopoli dan
Persaingan tidak Sehat
Pengertian
Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal
1 butir 1 UU Antimonopoli, Monopoliadalah penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku
usaha atau suatu kelompok usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah
suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan cara melawan hukumatau
menghambat persaingan usaha.
Dalam UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1
butir 6 UU Antimonopoli,’Persaingan curang (tidak sehat ) adalah persaingan
antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha’.
Asas dan Tujuan
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha
adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara
pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU
persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
Kegiatan yang
dilarang dalam anti monopoli
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang
dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak
memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari
kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan
disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang
dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang
adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1) Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2) Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya
ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar
yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3) Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal
19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yaitu :
·
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
·
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
·
membatasi peredaran dan atau penjualan barang
dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
·
melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku
usaha tertentu.
4) Persekongkolan
bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan
bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU
No.5/1999).
5) Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat,
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi
dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
6) Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi
atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang
merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7) Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham
mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam
bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa
perusahaan yang sama.
8) Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang
bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus
menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
Perjanjian yang
dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah
perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
·
Oligopoli
·
Penetapan harga
·
Pembagian wilayah
·
Pemboikotan
·
Kartel
·
Trust
·
Oligopsoni
·
Integrasi vertical
·
Perjanjian tertutup
·
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Hal-hal yang
Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
A.
Perjanjian yang dikecualikan
1.
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cifta, desain
produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang.
2.
Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3.
Perjanjian penetapan standar teknis produk
barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4.
Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya
tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga
yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan;
5.
Perjanjian kerjasama penelitian untuk
peningkatkan atau perbaikan standar kehidupan masyarakat luas;
6.
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh pemerintah.
7.
Perbuatan yang dikecualikan
·
perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku
usaha;
·
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus
bertujuan untuk melayani anggota.
·
Perbuatan dan atau Perjanjian yang
Diperkecualikan
a)
perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b)
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan
untuk eksport dan tidak menganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Hal ini diatur berdasarkan UU No. 5
Tahun 1999, dibentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang
bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar
tidak melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
·
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang
telah dibuat oleh pelaku usaha;
·
melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan
atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
·
mengambil tindakan sesuai wewenang komisi;
·
memberikan saran dan pertimbangan kebijakan
pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
·
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari
pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
·
melakukan penelitian tentang dugaan adanya
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadi
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
·
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan
terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi
sebagai hasil dari penelitiannya;
·
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli,
dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang;
·
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan
pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi
panggilan komisi;
·
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini
Sanksi dalam
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah
satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan
hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa
saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU
Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49
SUMBER :