Posted by : Dewi Purnamasari
Minggu, 06 Mei 2018
Penyelesaian Sengketa
Sengketa dimulai ketika satu pihak
merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb
menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui
cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari
proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada
kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.
1. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses
tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan
antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2. Mediasi
Proses penyelesaian sengketa
antarpihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai
penasihat. Dalam hal mediasi, mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sbb:
Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran
informasi
Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari
argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi
perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha
mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian
dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan,
konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa
pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan
atas nama para pihak karena hal tsb diambil sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
4. Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999,
arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun
disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
·
Salah satu pihak meninggal
·
Salah satu pihak bangkrut
·
Pembaharuan utang (novasi)
·
Salah satu pihak tidak mampu membayar
(insolvensi)
·
Pewarisan
·
Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
·
Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb
dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tsb
·
Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase
bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk
melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka
keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga
permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan
yang ditangani telah selesai.Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase
menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang
bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian,
sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya
hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan
arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta
pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final,
dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya
telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat
diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan
arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66
UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan
sbb:
·
putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
·
putusan arbitrase internasaional terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan
·
putusan arbitrase internasional hanya dapat
dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban
umum
·
putusan arbitrase internasonal dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari
terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan
negeri.Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke
MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.
5. Peradilan
Negara berhak memberikan
perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu
negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan
para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2
Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan
peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang
berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha
negara, dan oleh sebuah MK.
6. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan
pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan
pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan
keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan
tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili
perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara
RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
1.
Permohonan kasasi
2.
Sengketa tentang kewenangan mengadili
3.
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena:
1.
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2.
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku
3.
Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus
permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan
alasan yang diatur dalam perundang-undangan.Permohonan PK dapat diajukan hanya
satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri
oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara
yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Perbandingan Antara Perbandingan,Arbitrase dan Legitasi
SUMBER :